Map of the Republic of Indonesia

Whereas independence is the inalienable right of all nations, therefore, all colonialism must be abolished in this world as it is not in conformity with humanity and justice.

ONCE AND FOREVER

The Battle of Surabaya was fought between pro-independence Indonesian soldiers and militia against British and Dutch troops as a part of the Indonesian National Revolution.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Blog ini masih dalam penyempurnaan dan terimakasih sudah berkunjung ke blog kami ini Terima kasih.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Irian Jaya / papua




to british gov: go away from papua IRIAN JAYA..!!! Do not interfere in our affairs

SUKU ASMAT di Kabupaten ASMAT (ASMAT TRIBE)


Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.


Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggangdan dimakan.

Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kam
pung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri.

Suku Asmat meiliki cara yang sangat sederhana un
tuk merias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. Sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakan pun cukup mudah, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh mereka.

Selain tradisinya yang unik, penduduk kampung Syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti suku asmat umumnya. ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur, pada setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran
suku Asmat. Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi suku asmat kala mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. Hal tersebut dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).

Percaya sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Na
mun, kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. Sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran, mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah di luar Papua.


Mata Pencariannya
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku Mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, burung kasuari,

babi, hitan, komodo dan lain-lain. Mereka juga selalu meramuh atau menokok sagu (proses pengam

bilan sari pohon sagu) sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. (K-4/Wikipedia)


SUKU BIAK di Kabupaten BIAK Numfor (BIAK TRIBE)



SUKU DANI, Lembah Baliem, Papua (DANI TRIBE)




Suku Ekagi, daerah Paniai, Abepura, Papua

Suku Amungme di Mimika

Suku Bauzi, Mamberamo hilir, Papua utara

Suku Arfak di Manokwari

Suku Kamoro di Mimika

WE ARE READY TO FIGHT AGAINST ANY COUNTRY THAT WANTS TO DESTROY THE INTEGRITY OF
THE UNITARY
REPUBLIC OF INDONESIA...!!!



GARUDA ON MY CHEST

GARUDA IN MY HEART

FRANS KAISIEPO

(October 10, 1921 – April 10, 1979) was a National Hero of Indonesia (Gelar Pahlawan Nasional Indonesia).

Kaisiepo was born in Wardo on the island of Biak on October 10, 1921. As the representative of Papua he was involved in the Malino Conference (16 July – 25 July 1946), where the formation of the Republic of Indonesia was discussed. He proposed the name Irian, which came from the Biak language.


The Japanese occupation of Indonesia during World War II resulted in the Dutch government lacking personnel in New Guinea. In order to satisfy this deficiency, in 1944, Resident J.P. van Eechoud established the Police Training School and the School of Civil Service (betuurschool) in Hollandia (currently Jayapura). Eechoud is often called "Vader der Papoea’s" (father of the Papuans). That school had taught 400 people between the year 1944 – 1949. It also produced the most intellectual Irians that were involved in the battle. The Indonesian declaration of independence on August 17, 1945 also affected many young learned men, among them Silas Papare, Albert Karubuy, and Marthen Indey. In 1946 in Serui, Silas Papare and a couple of his followers established a political pro-Indonesia organization called Irian Indonesian Independence Party or Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).

On August 17, 1947 Silas Papare led the raising of the Indonesian red and white flag, accompanied by Johans Ariks, Albert Karubuy, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab and Joseph Djohari. It was a remembrance to Indonesia’s Independence Day. This action resulted in the confinement of all the participants by the Dutch police for more than three months. Two others nationalist, Frans Kaisiepo and Johans Ariks followed the path of Silas Papare. Johan Ariks, at later time, discovered the plans to integrate West Irian into the Republic of Indonesia’s territory instead of fostering its autonomy. In 1945 when he attended Civil Administration Brief course in Nica Holandia city ( Kampung Harapan Jayapura) he befriended Sugoro Atmoprasodjo. From this socialization his Indonesian nationalism grew up and then with his friends often held discreet meeting with Sugoro to discuss the unification of Nederland Nieuw Guinea to Republic of Indonesia. Frans Kaisiepo disagreed with the name plate of Course/School that he attended written Papua Bestuur School. He ordered Markus Kaisiepo, his sibling, to change the name Papua Bestuurschool into Irian Bestuurschool.

The idea of Indonesian Independence grew among students coming from all districts. Therefore, the students of the school often held discreet meetings that opposed the Dutch occupation and planned to join Indonesia. Next, they formed a committee under the leadership of Sugoro Atmoprasojo, with members such as Frans Kaisiepo, Marthen Indey, and Silas Papare, G Saweri, SD Kawab and others

On 14 August 1945 in Kampung Harapan Jayapura, Indonesia Raya Song was reveberated by Frans Kaisiepo, Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe and his friends.

On August 31, 1945, they held a ceremony where they hoisted the Indonesian flag and sang Indonesia Raya (Indonesia’s national anthem) followed by figures of Indonesian Committee of freedom such as : Frans Kaisiepo, Marcus Kaisiepo, Corinus Krey and M. Youwe. On 10th Juli 1946 in Biak Party Of Freedom of Indonesia (Partai Indonesia Merdeka) was founded with Lukas Rumkoren as the leader. One of the founders was Frans kaisiepo who at the time was the chief of Warsa District, North Biak.

In July 1946 Frans Kaisiepo was member of the Malino Conference Delegation in South Sulawesi, pioneered by Dr. H.J. van Mook. He was the only native Papuan attending the Malino Conference. As a speaker, he suggested that the name Papua should be changed into Irian (supporting the Republic of Indonesia anti-Netherland). The people said Irian was taken from the Biak language meaning hot area.

Frans Kaisiepo was one of members of Delegation that opposed the establishment of East Indonesian State (NIT), because NIT was without Irian Jaya. Based on this reference he suggested Irian Jaya join North Sulawesi.

In March 1948, rebellion broke out in Biak protesting against the Dutch government. One of the inciters of the rebellion was Frans Kaisiepo.

In 1949 he rejected appointment as the delegate leader of Netherlands Nieuw Guinea in the Round Table Conference in the Netherlands, because he did not want to be dictated to by the Netherlands. As a result, Frans Kaisiepo was arrested from 1954 to 1961.

In 1961, he established Irian Political Party that strived to re-unite Nederlands Nieuw Guinea with the Republic of Indonesia. To envisage the decolonization of the Nederland Government, President Soekarno ignited Trikora ( People’s Triple Commands) on December 19, 1961 in Yogyakarta. The commands included (a) aborting the formation of the ‘Papua state’ as created by colonial Netherland, (b) Waving the Red and White Flag in West Irian, and (c) preparing to mobilize to defend the independence and unification of motherland. Many volunteers were sent to aid the Irian combatants. Frans Kaisiepo often protected these combatants who would silently infiltrate West Irian.

Due to the Trikora Act, the Netherlands Government was forced to sign an agreement known as the New York Agreement on August 15, 1963. The transfer of government administration to UNTEA occurred on May 1, 1962. The transfer of West Irian to Indonesia was conducted by the United Nations the following year on May 1, 1963. By the end of 1969, the Papuans had to decide whether or not to join Indonesia or remain autonomous. Indonesia had the responsibility to develop the region from 1963 to 1969.

The first governor of Irian was Elieser Jon Bonay who held the office for less than a year (1963 – 1964). In the beginning, Bonay sided with the Indonesians. Yet, in 1964, he urged the Act of Free Choice in Irian Jaya for the independence of West Irian; this request was forwarded to the United Nations. His action caused him to be resigned as governor. In 1964, he was replaced by Frans Kaisiepo. His resignation without a replacement position disappointed Bonay and propelled him to join Organisasi Papua Merdeka (OPM) or the Free Papua Organization overseas, he left his homeland and became a prominent figure of OPM and resided in the Netherlands.

Frans Kaisiepo, as governor and one of activator from Irian Jaya Big Discussion strived to archive the Act of Free Choice, as it coincided with his original vision. Finally, it was won, meaning that Irian Jaya was reunited with Republic of Indonesian in 1969. In 1972, Frans Kaisiepo was appointed member of Republic Indonesia’s People’s Consultative Council / MPR RI and during 1973 – 1979, he was appointed member of Republic Indonesian’s Leadership of Supreme Judgement / DPA RI.

On April 10, 1979, Frans Kaisiepo died and was buried in Taman Makam Pahlawan Cendrawaish (Cendrawaish Heroes Burial Site) in Biak. Due to his meritorious service, Frans Kaisiepo was awarded the Trikora and the Act of Free Choice merit by the Indonesian government. His name is also immortalized as the Biak Airport. Inside Frans Kaisiepo, there was the will to firmly maintain the unification of the nation.

In 1993 Frans Kaisiepo was honored as a National hero based on resolution letter number 077/TK/1993 from the President of Republic of Indonesian with carter and Maha Putera Adi Pradana Medal Class 2nd.

Inside Frans Kaisiepo, there was the will to firmly maintain the unification of the nation. He firmly believed in the proverb that “United we stand, divided we fall”.



Sejarah Integrasi Papua / Irian Jaya

Perjuangan masyarakat Papua dan Papua Barat (sebelumnya: Irian Barat/Jaya) dalam rangka mewujudkan integrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah menempuh proses panjang, rumit, pahit dan berliku. Bersama dengan masyarakat Indonesia lainnya seperti Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Kalimantan dll, mereka berjuang melepaskan diri dari dominasi kolonialisme penjajah dan imperialisme antara lain dari Kolonial Belanda (350 Tahun) dan dari Jepang (3 Tahun).

Bentuk perjuangan ini beragam, namun tetap dalam semangat gerakan millinerian, mesianic dan cultus cargo. Dalam masa penjajahannya, Belanda, yang terkenal sebagai penguasa yang paling kejam dan serakah, menyita tanah, melakukan deskriminasi ras, mengisolasi budaya bahkan membiarkan keadaan kesehatan buruk terjadi di Papua. Selain itu, dalam rangka menghadapi penjajah Jepang yang brutal, perjuangan dilakukan secara terbuka berupa gerakan “Koreri” di Kepulauan Biak, gerakan “Were atau Wage” di Enarotali dan gerakan “Simon Tongkat” di Jayapura, tahun 1942.

Menjelang okupasi menyeluruh Jepang ke wilayah Indonesia, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea tidak rela apabila Papua Barat jatuh ke tangan Jepang. Bahkan berupaya mencengkram kuku-kuku kolonialisme. Salah satu bentuknya yaitu pendirian sekolah Polisi dan sekolah Pamongpraja/ Police Training School and the School of Civil Service (bestuurschool) di Jayapura pada tahun 1944 dipimpin oleh Resident J.P.van Eechoud.

Adalah sebuah kesalahan besar dengan anggapan Eechoud sebagai “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua), karena J.P.van Eechoud tidak benar-benar menginginkan pembentukan sekolahan tersebut untuk melahirkan elit politik terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea, tetapi merupakan siasat untuk menarik simpati masyarakat Papua pada waktu itu, untuk berjuang bersama-sama Belanda mengusir penjajah Jepang, sehingga penguasaan atas wilayah Papua semakin berlangsung lama. Pengelabuan atas nasionalisme Papua membuat orang Papua tertipu dan tanpa disadari telah menjadikan mereka sebagai “sapi perahan” yang setia kepada Pemerintah Belanda. Oleh karena itu, setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan, dipenjarakan, atau dibuang keluar dari Irian Jaya sebagai tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian Jaya.

Beberapa orang yang menempuh pendidikan bestuurschool kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Wamsiwor dan Abdullah Arfan. Beberapa diantara tokoh diatas ternyata tidak benar-benar terpengaruh dengan iming-iming Belanda, diantaranya Silas Papare, Albert Karubuy dan Martin Indey.

Dalam hati terdalamnya, tetap bersemayam keinginan mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dari Sabang hingga Merauke sehingga pada 14 Agustus 1945 di Kampung Harapan Jayapura, Lagu Indonesia Raya Song dikumandangkan oleh Frans Kaisiepo, Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe dan teman-temannya. Pada tanggal 31 Agustus 1945 mereka melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dihadiri oleh para tokoh Komite Indonesia Merdeka seperti: Frans Kaisiepo, Marcus kaisiepo, Corinus Krey dan M. Youwe. Perjuangan Integrasi Papua dan Papua Barat lantars berlanjut.

Pada tanggal 10 Juli 1946 di Biak didirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan ketuanya Lukas Rumkoren. Adapun salah seorang pencetus PIM adalah Frans Kaisiepo yang waktu itu menjadi kepala Distrik di Warsa, Biak Utara. Frans Kaisiepo juga menjadi anggota delegasi asal Irian Jaya pada bulan Juli 1946 di Sulawesi selatan. Pemerintah Belanda dalam konferensi Malino diwakili Dr.H.J.van Mook, menolak tuntutan Frans Kaisepo karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea. Frans Kaisiepo adalah putra asli Irian jaya yang dalam konferensi Malino. Sebagai pembicara ia mengusulkan supaya nama Papua diganti dengan Irian yang diberi pengertian Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands.

Konon kata IRIAN diambil dari bahasa Biak yang berarti panas dalam hal ini berarti daerah panas. Frans Kaisiepo termasuk anggota delegasi yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebab NIT tanpa Irian Jaya. Sehubungan hal itu ia mengusulkan IRIAN Jaya masuk karisidenan Sulawesi Utara. Pada bulan Maret 1948 terjadi pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda, salah satu pencetus pemberontakan itu adalah Frans Kaisiepo. Pada tahun 1949, Ia menolak ditunjuk sebagai Ketua Delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di negeri Belanda, sebab tidak mau didikte dalam berbicara yaitu sesuai keinginan Belanda. Akibatnya Frans Kaisiepo dipenjarakan dari tahun 1954 – 1961. Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian yang menuntut penyatuan kembali Nederlands Nieuw Guinea ke dalam kekuasaan Republik Indonesia. Untuk menghadapi usaha dekolonisasi dari Pemerintah Belanda, Presiden Soekarno mencetuskan Trikora (Tri, Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. I

si komando itu adalah (a) Menggagalkan pembetukan ”Negara Papua” buatan kolonial Belanda; (b) Mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan (c) Persiapan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Banyak sukarelawan dikirim untuk membantu para pejuang Irian. Frans Kaisiepo banyak melindungi para pejuang Indonesia yang menyusup secara diam-diam ke Irian Barat. Dengan aksi Trikora itu, pemerintah Belanda kemudian menandatangani perjanjian yang terkenal sebagai Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Penyerahan penyelenggaraan administrasi pemerintah kepada UNTEA dilakukan pada tanggal 1 Mei 1962 sedangkan penyerahan wilayah Irian Barat kepada Indonesia dilakukan PBB (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963. Realisasinya yaitu paling lambat pada akhir tahun 1969 harus dilakukan pemilihan bebas untuk menentukan nasib Irian Barat oleh orang Papua sendiri apakah mereka akan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri. Indonesia berkewajiban untuk membangun wilayah itu dalam kurun waktu 1963 – 1969. Gerakan politik penyatuan Papua ke NKRI juga didukung oleh gerakan nasionalis lain tumbuh di antara siswa yang berasal dari semua kabupaten. Tahun 1945, Frans Kaisiepo berkenalan dengan Sugoro Atmoprasojo ketika mengikuti Kursus Kilat Pamong Praja di Kota Nica Holandia (Kampung Harapan Jayapura).

Dari perkenalan itu ia dan kawan-kawannya mulai tumbuh rasa kebangsaan Indonesia. Frans Kaisiepo tidak setuju dengan papan nama kursus/sekolah yang diikutinya itu yang bertuliskan PAPUA BESTUUR SCHOOL. Ia memerintahkan kepada Markus Kaisiepo, saudaranya untuk menggantikan papan nama Papua Bestuurschool (Sekolah/”Kursus Kilat” Pamong Praja Papua) menjadi Irian bestuurschool. Ide kemerdekaan Indonesia berkembang dikalangan para siswa yang berasal dari berbagai daerah/suku. Untuk itu para pengikut kursus itu sering mengadakan rapat secara sembunyi-sembunyi yang pada intinya menentang pendudukan Belanda dan ingin bersatu dengan RI.

Mereka kemudian membentuk dewan perwakilan di bawah pimpinan Sugoro Admoprasojo dengan anggota, antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare, G Saweri, SD Kawab dan teman lainnya. Soegoro Admoprasodjo pada saat itu menjabat Direktur Pendidikan Pamong raja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis, dan Buton yang ada di Nieuw Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia.

Tetapi sekali lagi gerakan tersebut dilarang oleh Belanda, dan konsekuensinya ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident J.P.van Eechoud. Gerakan politik dalam rangka integrasi Papua ke NKRI lantas tidak mati. Walaupun menjalani masa pembuangan oleh Belanda ke Serui, Dr. Sam Ratulangi tetap melakukan pembinaan terhadap PKII. Gerakan politik baru untuk memperjuangkan integrasi Papua ke NKRI turut dilakukan tokoh akademisi.

Pada tahun 1954, Dr. Gerungan mendirikan gerakan politik di Hollandia bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua seperti Marten Indey, Nicolass Jouwe, dan Korinus Krey. Hal ini lantas membuat Resident J.P.van Eechoud geram. Ia melarang aktivitas PKII dan KIM, menangkap pemimpinnya dan membuangnya ke Makassar, Jawa, dan Sumatera yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L Suwages, Lukas Rumkorem, dan Raja Rumagesang.

Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah, dengan semangat pro-Indonesia dan menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia, dengan dipimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Kawab, Krey, dan Ujo. Untuk menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea, dengan tokoh-tokohnya antara lain Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor. Belanda bercita-cita penguasaan atas Nieuw Guinea dilakukan secara menyeluruh. Pada tahun 1960 dibentuklah Uni Perdagangan yang pertama di Nieuw Guinea bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea).

Pada tiga bulan menjelang akhir tahun 1960, pemerintah Belanda membentuk beberapa partai dan organisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum, yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara bertahap.

Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut diatas adalah:

  • Partai Nasional (Parna) diketuai Hermanus Wajoi
  • Democratische Volks Partij (DVP) diketuai A. Runtuboy
  • Kena U Embay (KUE) diketuai Essau Itaar
  • Nasional Partai Papua (NAPPA) Anggota NMC tanggahma
  • Partai Papua Merdeka (PPM) diketuai Moses Rumainum
  • Commite Nasional Papua (CNP) diketuai Williem Inury
  • Front Nasional Papua (PNP) diketuai Lodwijk Ayamiseba
  • Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) diketuai Johan Ariks
  • Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) diketuai L. Mandatjan
  • Sama-Sama Manusia (SSM)
  • Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (PERKISRA) diketuai M. N. Majalibit
  • Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) diketuai AJF Marey Partai Nasional (PARNA) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis.

Beberapa pemimpin PARNA yang terkenal adalah Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Womsiwor, Frits Kirihio kemudian dikirim untuk belajar ke Belanda dan berubah pikirannya menjadi pro-Indonesia. Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia dan ia diangkat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia. Silas Papare menjadi anggota MPRS dan mereka membentuk suatu Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).

Silas Papare sangat aktif dalam kegiatan front ini dan diikutkan pada Delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mebicarakan masalah Irian Jaya pada tahun 1962. Pada tahun 1958 hingga tahun 1961 sejumlah pemuda Papua melintas batas ke Indonesia, yang oleh pemerintah Indonesia diterima dan dijadikan atau dilatih menjadi Tentara dalam rangka persiapan perebutan kembali Irian Jaya dari Pemerintah Belanda.

Beberapa pemuda yang terkenal pada waktu itu antara lain: A. J. Dimara, Benny Torey, Marinus Imburi (almarhum), Sadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, Metusalim Vimbay. Pada 1961, Frans Kaisepo mendirikan Partai Politik Irian yang diupayakan untuk bersatu kembali Nederlands Nieuw Guinea dengan Republik Indonesia. Membayangkan dekolonisasi dari Pemerintah Nederland, Presiden Soekarno memicu Trikora (People’s Triple Perintah) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.

Perintah-perintah yang disertakan (a) Gagalkan pembentukan ‘negara Papua’ sebagai yang diciptakan oleh kolonial Belanda, (b) Kibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat, dan (c) Bersiap-siap untuk memobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan penyatuan ibu pertiwi.

Banyak sukarelawan dikirim untuk membantu pejuang Irian. Frans Kaisiepo diam-diam menyusup Irian Barat. Karena UU Trikora, Pemerintah Belanda menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963. Pengalihan administrasi pemerintahan untuk UNTEA terjadi pada tanggal 1 Mei 1962. Pengalihan Irian Barat ke Indonesia dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun berikutnya pada tanggal 1 Mei 1963. Pada akhir 1969, orang Papua harus memutuskan apakah atau tidak untuk bergabung dengan Indonesia atau tetap otonom. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan wilayah 1963-1969. Gubernur pertama Irian Jon Elieser Bonay yang menjabat kurang dari satu tahun (1963 - 1964).

Pada awalnya, Bonay berpihak pada Indonesia. Namun, pada 1964, ia mendesak Act of Free Choice di Irian Jaya untuk kemerdekaan Irian Barat; permintaan ini diteruskan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakannya menyebabkan dia mengundurkan diri sebagai gubernur. Pada 1964, ia digantikan oleh Frans Kaisiepo. Pengunduran dirinya tanpa posisi pengganti sehingga Bonay kecewa dan mendorongnya untuk bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Organisasi Papua Merdeka. Di luar negeri, ia meninggalkan tanah airnya dan menjadi tokoh terkemuka OPM dan tinggal di Belanda.