Sejarah Integrasi Papua / Irian Jaya

Perjuangan masyarakat Papua dan Papua Barat (sebelumnya: Irian Barat/Jaya) dalam rangka mewujudkan integrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah menempuh proses panjang, rumit, pahit dan berliku. Bersama dengan masyarakat Indonesia lainnya seperti Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Kalimantan dll, mereka berjuang melepaskan diri dari dominasi kolonialisme penjajah dan imperialisme antara lain dari Kolonial Belanda (350 Tahun) dan dari Jepang (3 Tahun).

Bentuk perjuangan ini beragam, namun tetap dalam semangat gerakan millinerian, mesianic dan cultus cargo. Dalam masa penjajahannya, Belanda, yang terkenal sebagai penguasa yang paling kejam dan serakah, menyita tanah, melakukan deskriminasi ras, mengisolasi budaya bahkan membiarkan keadaan kesehatan buruk terjadi di Papua. Selain itu, dalam rangka menghadapi penjajah Jepang yang brutal, perjuangan dilakukan secara terbuka berupa gerakan “Koreri” di Kepulauan Biak, gerakan “Were atau Wage” di Enarotali dan gerakan “Simon Tongkat” di Jayapura, tahun 1942.

Menjelang okupasi menyeluruh Jepang ke wilayah Indonesia, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea tidak rela apabila Papua Barat jatuh ke tangan Jepang. Bahkan berupaya mencengkram kuku-kuku kolonialisme. Salah satu bentuknya yaitu pendirian sekolah Polisi dan sekolah Pamongpraja/ Police Training School and the School of Civil Service (bestuurschool) di Jayapura pada tahun 1944 dipimpin oleh Resident J.P.van Eechoud.

Adalah sebuah kesalahan besar dengan anggapan Eechoud sebagai “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua), karena J.P.van Eechoud tidak benar-benar menginginkan pembentukan sekolahan tersebut untuk melahirkan elit politik terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea, tetapi merupakan siasat untuk menarik simpati masyarakat Papua pada waktu itu, untuk berjuang bersama-sama Belanda mengusir penjajah Jepang, sehingga penguasaan atas wilayah Papua semakin berlangsung lama. Pengelabuan atas nasionalisme Papua membuat orang Papua tertipu dan tanpa disadari telah menjadikan mereka sebagai “sapi perahan” yang setia kepada Pemerintah Belanda. Oleh karena itu, setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan, dipenjarakan, atau dibuang keluar dari Irian Jaya sebagai tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian Jaya.

Beberapa orang yang menempuh pendidikan bestuurschool kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Wamsiwor dan Abdullah Arfan. Beberapa diantara tokoh diatas ternyata tidak benar-benar terpengaruh dengan iming-iming Belanda, diantaranya Silas Papare, Albert Karubuy dan Martin Indey.

Dalam hati terdalamnya, tetap bersemayam keinginan mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dari Sabang hingga Merauke sehingga pada 14 Agustus 1945 di Kampung Harapan Jayapura, Lagu Indonesia Raya Song dikumandangkan oleh Frans Kaisiepo, Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe dan teman-temannya. Pada tanggal 31 Agustus 1945 mereka melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dihadiri oleh para tokoh Komite Indonesia Merdeka seperti: Frans Kaisiepo, Marcus kaisiepo, Corinus Krey dan M. Youwe. Perjuangan Integrasi Papua dan Papua Barat lantars berlanjut.

Pada tanggal 10 Juli 1946 di Biak didirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan ketuanya Lukas Rumkoren. Adapun salah seorang pencetus PIM adalah Frans Kaisiepo yang waktu itu menjadi kepala Distrik di Warsa, Biak Utara. Frans Kaisiepo juga menjadi anggota delegasi asal Irian Jaya pada bulan Juli 1946 di Sulawesi selatan. Pemerintah Belanda dalam konferensi Malino diwakili Dr.H.J.van Mook, menolak tuntutan Frans Kaisepo karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea. Frans Kaisiepo adalah putra asli Irian jaya yang dalam konferensi Malino. Sebagai pembicara ia mengusulkan supaya nama Papua diganti dengan Irian yang diberi pengertian Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands.

Konon kata IRIAN diambil dari bahasa Biak yang berarti panas dalam hal ini berarti daerah panas. Frans Kaisiepo termasuk anggota delegasi yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) sebab NIT tanpa Irian Jaya. Sehubungan hal itu ia mengusulkan IRIAN Jaya masuk karisidenan Sulawesi Utara. Pada bulan Maret 1948 terjadi pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda, salah satu pencetus pemberontakan itu adalah Frans Kaisiepo. Pada tahun 1949, Ia menolak ditunjuk sebagai Ketua Delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di negeri Belanda, sebab tidak mau didikte dalam berbicara yaitu sesuai keinginan Belanda. Akibatnya Frans Kaisiepo dipenjarakan dari tahun 1954 – 1961. Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian yang menuntut penyatuan kembali Nederlands Nieuw Guinea ke dalam kekuasaan Republik Indonesia. Untuk menghadapi usaha dekolonisasi dari Pemerintah Belanda, Presiden Soekarno mencetuskan Trikora (Tri, Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. I

si komando itu adalah (a) Menggagalkan pembetukan ”Negara Papua” buatan kolonial Belanda; (b) Mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan (c) Persiapan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Banyak sukarelawan dikirim untuk membantu para pejuang Irian. Frans Kaisiepo banyak melindungi para pejuang Indonesia yang menyusup secara diam-diam ke Irian Barat. Dengan aksi Trikora itu, pemerintah Belanda kemudian menandatangani perjanjian yang terkenal sebagai Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Penyerahan penyelenggaraan administrasi pemerintah kepada UNTEA dilakukan pada tanggal 1 Mei 1962 sedangkan penyerahan wilayah Irian Barat kepada Indonesia dilakukan PBB (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963. Realisasinya yaitu paling lambat pada akhir tahun 1969 harus dilakukan pemilihan bebas untuk menentukan nasib Irian Barat oleh orang Papua sendiri apakah mereka akan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri. Indonesia berkewajiban untuk membangun wilayah itu dalam kurun waktu 1963 – 1969. Gerakan politik penyatuan Papua ke NKRI juga didukung oleh gerakan nasionalis lain tumbuh di antara siswa yang berasal dari semua kabupaten. Tahun 1945, Frans Kaisiepo berkenalan dengan Sugoro Atmoprasojo ketika mengikuti Kursus Kilat Pamong Praja di Kota Nica Holandia (Kampung Harapan Jayapura).

Dari perkenalan itu ia dan kawan-kawannya mulai tumbuh rasa kebangsaan Indonesia. Frans Kaisiepo tidak setuju dengan papan nama kursus/sekolah yang diikutinya itu yang bertuliskan PAPUA BESTUUR SCHOOL. Ia memerintahkan kepada Markus Kaisiepo, saudaranya untuk menggantikan papan nama Papua Bestuurschool (Sekolah/”Kursus Kilat” Pamong Praja Papua) menjadi Irian bestuurschool. Ide kemerdekaan Indonesia berkembang dikalangan para siswa yang berasal dari berbagai daerah/suku. Untuk itu para pengikut kursus itu sering mengadakan rapat secara sembunyi-sembunyi yang pada intinya menentang pendudukan Belanda dan ingin bersatu dengan RI.

Mereka kemudian membentuk dewan perwakilan di bawah pimpinan Sugoro Admoprasojo dengan anggota, antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare, G Saweri, SD Kawab dan teman lainnya. Soegoro Admoprasodjo pada saat itu menjabat Direktur Pendidikan Pamong raja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis, dan Buton yang ada di Nieuw Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia.

Tetapi sekali lagi gerakan tersebut dilarang oleh Belanda, dan konsekuensinya ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident J.P.van Eechoud. Gerakan politik dalam rangka integrasi Papua ke NKRI lantas tidak mati. Walaupun menjalani masa pembuangan oleh Belanda ke Serui, Dr. Sam Ratulangi tetap melakukan pembinaan terhadap PKII. Gerakan politik baru untuk memperjuangkan integrasi Papua ke NKRI turut dilakukan tokoh akademisi.

Pada tahun 1954, Dr. Gerungan mendirikan gerakan politik di Hollandia bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua seperti Marten Indey, Nicolass Jouwe, dan Korinus Krey. Hal ini lantas membuat Resident J.P.van Eechoud geram. Ia melarang aktivitas PKII dan KIM, menangkap pemimpinnya dan membuangnya ke Makassar, Jawa, dan Sumatera yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L Suwages, Lukas Rumkorem, dan Raja Rumagesang.

Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah, dengan semangat pro-Indonesia dan menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia, dengan dipimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Kawab, Krey, dan Ujo. Untuk menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea, dengan tokoh-tokohnya antara lain Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor. Belanda bercita-cita penguasaan atas Nieuw Guinea dilakukan secara menyeluruh. Pada tahun 1960 dibentuklah Uni Perdagangan yang pertama di Nieuw Guinea bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea).

Pada tiga bulan menjelang akhir tahun 1960, pemerintah Belanda membentuk beberapa partai dan organisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum, yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara bertahap.

Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut diatas adalah:

  • Partai Nasional (Parna) diketuai Hermanus Wajoi
  • Democratische Volks Partij (DVP) diketuai A. Runtuboy
  • Kena U Embay (KUE) diketuai Essau Itaar
  • Nasional Partai Papua (NAPPA) Anggota NMC tanggahma
  • Partai Papua Merdeka (PPM) diketuai Moses Rumainum
  • Commite Nasional Papua (CNP) diketuai Williem Inury
  • Front Nasional Papua (PNP) diketuai Lodwijk Ayamiseba
  • Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) diketuai Johan Ariks
  • Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) diketuai L. Mandatjan
  • Sama-Sama Manusia (SSM)
  • Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (PERKISRA) diketuai M. N. Majalibit
  • Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) diketuai AJF Marey Partai Nasional (PARNA) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis.

Beberapa pemimpin PARNA yang terkenal adalah Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Womsiwor, Frits Kirihio kemudian dikirim untuk belajar ke Belanda dan berubah pikirannya menjadi pro-Indonesia. Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia dan ia diangkat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia. Silas Papare menjadi anggota MPRS dan mereka membentuk suatu Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).

Silas Papare sangat aktif dalam kegiatan front ini dan diikutkan pada Delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mebicarakan masalah Irian Jaya pada tahun 1962. Pada tahun 1958 hingga tahun 1961 sejumlah pemuda Papua melintas batas ke Indonesia, yang oleh pemerintah Indonesia diterima dan dijadikan atau dilatih menjadi Tentara dalam rangka persiapan perebutan kembali Irian Jaya dari Pemerintah Belanda.

Beberapa pemuda yang terkenal pada waktu itu antara lain: A. J. Dimara, Benny Torey, Marinus Imburi (almarhum), Sadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, Metusalim Vimbay. Pada 1961, Frans Kaisepo mendirikan Partai Politik Irian yang diupayakan untuk bersatu kembali Nederlands Nieuw Guinea dengan Republik Indonesia. Membayangkan dekolonisasi dari Pemerintah Nederland, Presiden Soekarno memicu Trikora (People’s Triple Perintah) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.

Perintah-perintah yang disertakan (a) Gagalkan pembentukan ‘negara Papua’ sebagai yang diciptakan oleh kolonial Belanda, (b) Kibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat, dan (c) Bersiap-siap untuk memobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan penyatuan ibu pertiwi.

Banyak sukarelawan dikirim untuk membantu pejuang Irian. Frans Kaisiepo diam-diam menyusup Irian Barat. Karena UU Trikora, Pemerintah Belanda menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963. Pengalihan administrasi pemerintahan untuk UNTEA terjadi pada tanggal 1 Mei 1962. Pengalihan Irian Barat ke Indonesia dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun berikutnya pada tanggal 1 Mei 1963. Pada akhir 1969, orang Papua harus memutuskan apakah atau tidak untuk bergabung dengan Indonesia atau tetap otonom. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan wilayah 1963-1969. Gubernur pertama Irian Jon Elieser Bonay yang menjabat kurang dari satu tahun (1963 - 1964).

Pada awalnya, Bonay berpihak pada Indonesia. Namun, pada 1964, ia mendesak Act of Free Choice di Irian Jaya untuk kemerdekaan Irian Barat; permintaan ini diteruskan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakannya menyebabkan dia mengundurkan diri sebagai gubernur. Pada 1964, ia digantikan oleh Frans Kaisiepo. Pengunduran dirinya tanpa posisi pengganti sehingga Bonay kecewa dan mendorongnya untuk bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Organisasi Papua Merdeka. Di luar negeri, ia meninggalkan tanah airnya dan menjadi tokoh terkemuka OPM dan tinggal di Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar